GEMA IBUKOTA Ajak Warga Jakarta Lebih Rasional Menilai Hasil Pembangunan
JAKARTA, HR - Hiruk pikuk Pemilihan Kepala Daerah Jakarta, menyebabkan banyak masyarakat pemilih yang kurang memahami realita persoalan pembangunan akibat adanya manipulasi informasi melalui berbagai saluran media tradisional maupun media sosial. Gerakan Masyarakat Ibukota (GEMA IBUKOTA) tergerak untuk membangun kesadaran masyarakat Jakarta serta mengajak mereka untuk melihat realita tersebut dengan lebih jernih.
GEMA IBUKOTA memandang Jakarta sebagai Ibukota dari Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan barometer pembangunan nasional. “Ketika persoalan pembangunan di DKI Jakarta tidak dapat diselesaikan, maka dapat dipastikan pembangunan nasional juga akan terpengaruh,” kata Suhardi Suryadi, pengamat lingkungan dan inisiator GEMA IBUKOTA, dalam acara peluncuran dan diskusi publik yang bertajuk “Evaluasi Hasil Pembangunan DKI Jakarta 2012-2016 dalam Perspektif Keadilan Bagi Rakyat” belum lama inj di bulan Desember 2016, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
GEMA IBUKOTA adalah suatu gerakan independen yang tidak berafiliasi pada ras, suku, agama, partai politik ataupun status sosial ekonomi tertentu. Didorong keprihatinan atas lemahnya pemahaman sebagian warga Jakarta dalam menilai capaian pembangunan, GEMA IBUKOTA ingin membuka wawasan warga Jakarta agar dapat melihat keberhasilan pembangunan tidak hanya sebatas pada aspek fisik dan aksesorisnya.
Menurut GEMA IBUKOTA dari data resmi, melihat bahwa berbagai persoalan utama pembangunan di Jakarta belum mampu diselesaikan, bahkan sebagiannya mengalami kemunduran. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Jakarta meningkat sekitar 30 ribu jiwa dalam 4 tahun terakhir. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2016 mencapai 384.300 jiwa dari sebelumnya 355.200 jiwa pada tahun 2012. Jumlah penduduk yang rentan miskin juga relatif tinggi, yaitu lebih dari 1 juta jiwa.
Selain itu, Abdurrahman Syebubakar, pemerhati masalah ekonomi politik dan kemiskinan serta inisiator GEMA IBUKOTA, mengatakan data BPS mencatat rata-rata Rasio Gini tahun 2012-2016 berkisar di atas 0,4 (rasio 0 sampai 1, di mana angka 1 adalah yang terburuk) meningkat drastis dari periode sebelum 2011 yang berada di kisaran 0,3. Hal tersebut menunjukkan kesenjangan pendapatan antara penduduk kaya dan miskin melebar dalam 4 tahun terakhir. “Angka tersebut menempatkan DKI Jakarta sebagai salah satu dari 7 provinsi dengan Rasio Gini tertinggi di Indonesia,” kata Abdurrahman.
Tren kenaikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai indikator dasar pembangunan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan di DKI Jakarta juga relatif rendah, yaitu sekitar 0,54 per tahun – IPM tahun 2012 (77,53) dan 2015 (78,99). Sementara, rata-rata kenaikan IPM di provinsi lain mencapai hingga lebih dari 0,7, contohnya Nusa Tenggara Barat (0,8) dan Nusa Tenggara Timur (0,7). Rata-rata kenaikan IPM per tahun di DKI Jakarta juga berada di bawah Jawa Timur (0,72), Jawa Tengah (0,68), Jawa Barat (0,66), dan bahkan Papua (0,56) serta rata-rata kenaikan IPM nasional (0,62). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan yang berarti dalam pembangunan manusia di Jakarta.
Pembangunan di Jakarta dalam 2 tahun terakhir juga sangat berpotensi melahirkan kelompok miskin baru. Romo Sandyawan Sumardi, Pegiat kemanusiaan dan pemberdayaan masyarakat sekaligus inisiator GEMA IBUKOTA, mengatakan bahwa penggusuran paksa yang dilakukan di berbagai tempat termasuk Kampung Pulo dan Bukit Duri, dilakukan tanpa memberikan ruang dialog dan telah menyepelekan persoalan keberlanjutan penghidupan warga. “Penggusuran paksa terbukti menyebabkan warga yang tergusur kehilangan pendapatan sehingga sangat rentan untuk jatuh miskin,” kata Sandyawan. Cerita Sri Aswiah, seorang warga yang tergusur dari kampung nelayan di Luar Batang merupakan salah satu contoh lain, bagaimana suatu keluarga yang rentan miskin sangat berisiko jatuh miskin ketika menjadi korban penggusuran yang tidak mengedepankan dialog.
Selain berpotensi merusak lingkungan dan menyebabkan banjir, reklamasi Pantai Utara Jakarta juga sangat berpotensi melahirkan kelompok miskin baru dari kalangan nelayan. Kebijakan reklamasi yang dilaksanakan oleh Pemprov Jakarta lebih banyak menguntungkan para pemodal besar dan jauh dari prinsip keadilan. "Para nelayan yang biasa menambatkan perahu di depan rumahnya, tiba-tiba dipindah ke rumah susun,"papar Agus Pambagyo, pengamat kebijakan publik. Agus menyatakan bahwa pembangunan rumah susun dan berbagai program yang menggunakan dana di luar APBD, termasuk dari para pengembang, adalah tidak tepat.
Agus Pambagyo juga menyoroti rendahnya penyerapan anggaran dan realisasi belanja modal di DKI juga menjadi tolok ukur buruknya tata kelola pemerintahan, sehingga memperparah pembangunan DKI yang relatif tersendat. Di berbagai media nasional, Soni Sumarsono, Plt Gubernur DKI, menyatakan bahwa penyerapan tahun 2014 hanya sekitar 67%, sedangkan pada 2015 hanya sekitar 68%. Bahkan penyerapan anggaran tahun 2016 hingga awal Desember baru sekitar 78%. Soni menjelaskan, APBD tersebut tidak terserap maksimal disebabkan sejumlah program kegiatan tidak terealisasi hingga akhir tahun.
Menurut Enny Sri Hartati, pengamat ekonomi Indef, berbagai persoalan tersebut seharusnya dapat lebih cepat diselesaikan, karena Pemerintah DKI memiliki potensi dan keunggulan yang sangat besar dibanding daerah lain. Gubernur DKI Jakarta dibekali anggaran (APBD) hingga lebih dari 60 triliun rupiah per tahun.
"Faktanya berbagai indikator makro Ekonomi justru memperlihatkan kinerja yg terus menurun," kata Enny.
Abdurrahman menambahkan bahwa kedekatan Pemprov DKI dengan Pemerintah Pusat serta status DKI sebagai daerah otonomi khusus memberikan wewenang yang luas kepada Gubernur DKI dalam mengelola anggaran serta melaksanakan kebijakan. “Hal itu berbeda dengan provinsi lain, yang mana kuasa anggaran dan kebijakan ada di tangan Bupati dan Walikota,” kata Abdurrahman.
Sebagai sentra ekonomi negara, Pemerintah DKI juga memiliki potensi besar untuk memperoleh dukungan dunia usaha dalam pembangunan. Menurut Kamar Dagang Indonesia (KADIN), perputaran uang nasional di Jakarta mencapai sekitar 70%.
Fakta-fakta di atas merupakan bukti bahwa pengelolaan daerah cenderung meminggirkan hak-hak masyarakat miskin dan rentan miskin. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah belum mampu menjalankan amanat dari rakyat, terutama dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. GEMA IBUKOTA berkomitmen untuk mengawal penegakkan nilai-nilai tersebut melalui pendidikan politik dan penyampaian informasi yang berimbang kepada masyarakat agar lebih rasional dan obyektif dalam menilai pemimpin dan pembangunan yang dijalankannya. igo
0 komentar :
Posting Komentar
Sebaiknya anda berkomentar dengan bijak. DILARANG berkomentar berbau sex, sara, dan lainnya yang melanggar hukum.